Senin, 27 Mei 2013

SOFTSKILL BAB IV SISTEM DAN BUDAYA POLITIK



TUGAS KEWARGANEGARAAN BAB IV

SISTEM DAN BUDAYA POLITIK

 

 

UG


 

 

 

 

 

Nama           : SIFA FAUZIAH

Kelas           : 2EA27

NPM            : 16211755

 

UNIVERSITAS GUNADARMA

2013







DAFTAR ISI

I.                   PENDAHULUAN………………………………….  1
1.1  LATAR BELAKANG…………………………...1
II.                SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA……….2
III.             PROSES POLITIK DIINDONESIA…………………3
IV.             PENGERTIAN BUDAYA POLITIK INDONESIA…5
4.1  Pengertian Budaya Politiki Menurut Para Ahli……6
4.2  Perkrmbangan Budaya Politik Indonesia………….7
4.3  Peran Serta Budaya Politik Partisipan……………..9
4.4  Tatanan Kehidupan Masyarakat Politik…………..10
V.                KESIMPULAN………………………………………12
REFERENSI………………………………………….13
 






BAB VI
SISTEM & BUDAYA POLITIK INDONESIA
I.PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam kehidupan politik suatu Negara, Negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung pada budaya poitik yang berkembang dalam masyarakat untuk dapat mengetahui bagaimana tipe-tipe budaya politik masyarakat Indonesia dan bagaimana peran sertanya dalam pembangunan kehidupan politik di Indonesia.
Setiap hari pasti kita melakukan aktivitas yang tidak lain menonton tv dan membaca majalah maupun koran,tentunya kita pernah menyaksikan secara langsung maupun tidak langsung melalui televise dan media massa lainnya pelaksanaan pemilu, pilkada, demonstrasi, kerusuhan, kampanye partai politik, dan bahkan penculikan-penculikan aktivis-aktivis politik. Pola-pola perilaku tersebut menyangkut kehidupan bernegara, pemerintahan, hukum, adat istiadat dan lainnya yang disebut sebagai budaya politik.
Sebagai warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kita ketahui bahwa politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut peraturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Kebijakan-kebijakan umum hanya dapat dilakukan dengan kekuasaan dan untuk memperoleh kekuasaan itulah diperlukan sarana politik yang disebut partai politik.
kondisi dinamik bangsa Indonesia yang menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalur kan konflik sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan (konsensus),sistem ini membantu pembentukan identitas bersama,hubungan kekuasaan,legitimasi kewenangan dan hubungan politik dan ekonomi.dari dalam untuk menjamin identitas, integrasi, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional. Sistem ini juga berfungsi memelihara keseimbangan antara konflik dan consensus,arti nya dengan ada nya sistem ini apabila terdapat perbedaan-perbedaan pendapat,persaingan, ataupun pertentangan antar individu,juga menekan kan pada consensus total tidak hanya dengan terinduktrinasi ideology saja,tetapi juga menganut dari berbagai Negara termasuk eropa timur dan Asia.



II. SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
  1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
  2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
  3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
  4. Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
  5. Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
  6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
  1. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
  2. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik.
III  PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
o   Masa prakoloniaL
o   Masa kolonial (penjajahan)
o   Masa Demokrasi Liberal
o   Masa Demokrasi terpimpin        
o   Masa Demokrasi Pancasila Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
  • Penyaluran tuntutan
  • Pemeliharaan nilai
  • Kapabilitas
  • Integrasi vertikal
  • Integrasi horizontal
  • Gaya politik
  • Kepemimpinan
  • Partisipasi massa
  • Keterlibatan militer
  • Aparat negara
  • Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
§  ­            Masa prakolonial (Kerajaan)
§              Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
§              Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
§  ­            Kapabilitas – SDA melimpah
§  ­            Integrasi vertikal – atas bawah
§  ­            Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
§  ­           Gaya politik – kerajaan
§  ­           Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
§  ­           Partisipasi massa – sangat rendah
§  ­           Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
§  ­           Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
§  ­           Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
§  ­           Masa kolonial (penjajahan)
§  ­           Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
§  ­           Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
§  ­           Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
§  ­           Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
§  ­           Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
§  ­           Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
§  ­           Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
§  ­           Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
§  ­           Keterlibatan militer – sangat besar
§  ­           Aparat negara – loyal kepada penjajah
§  ­           Stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
§  ­           Masa Demokrasi Liberal
§  ­           Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
§  ­           Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
§  ­           Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
§  ­           Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
§  ­           Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
§  ­           Gaya politik – ideologis
§  ­           Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
§  ­           Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
§  ­           Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
§  ­           Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
§  ­           Masa Demokrasi terpimpin
§  ­           Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
§  ­           Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
§  ­           Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
§  ­           Integrasi vertikal – atas bawah
§  ­           Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
§  ­           Gaya politik – ideolog, nasakom
§  ­           Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
§  ­           Partisipasi massa – dibatasi
§  ­           Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
§  ­           Aparat negara – loyal kepada negara
§  ­           Masa Demokrasi Pancasila
§  ­           Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
§  ­           Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
§  ­           Kapabilitas – sistem terbuka
§  ­           Integrasi vertikal – atas bawah
§  ­           Integrasi horizontal – nampak
§  ­           Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
§  ­           Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
§  ­           Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
§  ­           Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
§  ­           Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
§  ­           Stabilitas stabil
§  ­           Masa Reformasi
§  ­           Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
§  ­           Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
§  ­           Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
§  ­           Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
§  ­           Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
§  ­           Gaya politik – pragmatik
§  ­           Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
§  ­           Partisipasi massa – tinggi
§  ­           Keterlibatan militer – dibatasi
§  ­           Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah




IV.  PENGERTIAN BUDAYA POLITIK INDONESIA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti akal atau budi, sehingga kebudayaan dapat diartikan semua hal yang bersangkutan dengan hal. Budaya dapat di definisikan secara sempit dan secara luas. Definisi secara sempit mencangkup kesenian dengan semua cabang-cabangnya dan secara luas mencangkup semua aspek kehidupan manusia.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kebudayaan adalah perkembangan dari kta majemuk budi daya yang berupa cipta,rasa, dan karsa.kebudayaan merupakan hasil dari kehidupan bersama manusia maka kebudayaan itu tidak sama antara satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan mayarakat yang lainnya. Karena masyarakat berkembang maka kebudayaan manusia juga berubah-ubah sesuai dinamika kehidupan masyarakat. Manusia dalam suatu kelompok untuk menciptakan kehidupan yang tujuan akhirnya memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada siapa anggota kelompok yang bersangkutan. Beberapa aspek yang perlu di perhatikan dalam budaya ini ialah beberapa aspek seperti aspek material san aspek nonmaterial.


4.1 Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a.      Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b.      Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c.      Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d.      Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e.      Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama   : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti   orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan   Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari    sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem   politik.
Kedua      : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga      : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan  dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.


4.2 Perkembangan Budaya Politik Indonesia
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.
Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.

Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.

Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
  1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
  2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia.  Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.

4.3 Peran Serta Budaya Politik Partisipan
1.    Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan suatu hubungan timbal balik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimana rakyat merupakan sumber aspirasi dan sumber pimpinan nasional. Komunikasi politik secara vertical maupun horizontal baik didalam suprastruktur maupun infrastruktur dimaksudkan untuk mewujudkan adanya pengertian-pengertian politik yang dapat diterima oleh semua pihak untuk terwujudnya tujuan politik. Adapun tujuan politik tidak dapat dilepaskan dari tujuan partai politik dan tujuan partai politik juga seharudnya adalah sama dengan tujuan politik yang termaktub dalam UUD Negara.
Tujuan politik yang sama antara partai politik denga tujuan Negara diharakan tidak akan terjadi kompetisi politik yang tidak sehat antar partai politik, mengingat tiap partai politik akan mempunyai disiplin politik, disiplin social, dan disiplin nasional. Setiap kegiatan partai politik tidak akan mengorbankan kepentingan-kepentingan nasional, ideology, dan Negara.
2. Partisipasi Politik
Demokrasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan budaya politik. Budaya politik di Indonesia pada hakikatnya telah melekat dalam system politik yang berlaku di Indonesia. Pada norma-norma, nilai-nilai serta ketentuan yang ada di Negara kita budaya politik selalu terkait dengan system politik yang berlaku yaitu demokrasi pancasila.
Peran serta masyarakat dalam budaya politik partisipan dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan berikut :
 Kemampuan berpartisipasiØ aktif dalam kehidupan politik dengan menggunakan hak poltitk dalam pemilu.
 MengetahuiØ hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.
 MemilikiØ toleransi yang tinggi terhadap perbedaan pendapat
 BerjiwaØ besar menerima kelebihan orang lain dan berlapang dada menerima kekalahan.
Ø Mengutamakan musyawarah yang menyangkut kepentingan bersama.
Ø Menyampaikan hak demokrasinya sebagaimana diatur dalam UU.
 KemampuanØ berpartisipasi terhadap kegiatan dilingkungan
4.4 Tatanan Kehidupan Masyarakat Politik
Dalam perkembangannya kehidupan masyarakat selalu mengalmi perubahan-perubahan baik positif amupun negative. Hal ini disebabkan manusia sebagai anggota dari masyarakat selalu berkembang secara dinamis yang memungkinkan terciptanya suatu kondisi tertentu yang diinginkan. Dalam upaya mencapai kondisi itu, tidak jarang diliputi suasana-suasana konflik.
Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Konflik-konflik ideologis berbagai golongan di masyarakat Indonesia khususnya, telah menjadi sebab timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mengembangkan aturan permainan (rules of the game). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konflik-konflik ideologis tersebut tumbuh berdampingan dengan timbulnya konflik-konflik yang bersifat politis akibat pertentangan-pertentangan didalam pembagian status, kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.
Ada beberapa indikasi yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu social untuk menilai intensitas pertentangan-pertentangan politik dalam suatu masyarakat.
a) Demonstrasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang dengan tidak menggunakan kekerasan untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah, pejabat pemerintah, ideology, kebijaksanaan yang sedang dilaksanakan atau bahkan baru direncanakan. Misalnya, demo menolak kenaikan harga BBM, demo menuntut pengusutan kasusu-kasu hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
b) Kerusuhan, kerusuhan dalah pada dasarnya sama dengan demonstrasi. Bedanya, kerusuhan menggunkan kekerasan secara fisik yang biasanya diikitu pengrusakan barang-barang, pemukulan atau bahkan pembunuhan. Cirri lain yang membedakan kerusuhan dari demonstarsi adalah kenyataan bahwa kerusuhan terutama ditandai oleh spontanitas sebagai akibat dari suatu insiden dan perilaku kelompok yang kacau. Misalnya, kerusuhan Mei 1998, kerusuhan 27 Juli 1996, atau peristiwa 27 Juili, kerusuhan Poso, dan sebagainya.
c) Serangan bersenjata, (armed attack), yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan daari kelompok lain. Misalnya, konflik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai akibat dari upaya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin melepaskan diri dari pangkuan NKRI.
d) Banyaknya jumlah kematian sebagai akibat dari kekerasan politik, misalnya penculikan dan pembunuhan dengan motif politik dan sebagainya.
Suatu integrasi nasional yang tangguh hanya akan berkembang diatas consensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakt politik dan system politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut. Pertama, merupakan kesadaran dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan warga dari suatu bangsa yang membedakan apakah seseorang termasuk sebagai warga dari suatu bangsa atau tidak. Kedua, merupakan consensus nasional mengetahui bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan. Suatu consensus nasional mengenai “sisitem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan social diantara para anggota suatu masyarakat bangsa.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi tingkat ketahanan nasional di bidang politik, yaitu factor umum dan khusus. Factor umum merupakan factor yang mempengaruhi terciptanya ketahanan nasional dibidang ideology, ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan. Sedangkan factor khusus yang menentukan tingkat ketahanan nasional di bidang politik, meluputi sebagai berikut :
·         Adanya ideology nasional yang dapat mewujudkan suatu realitas politik dan memiliki fleksibilitas yang dapat menyesuaikan dan mengisi kebutuhan dan tuntutan zaman. Ideology nasional harus benar-benar dimengerti, dipahami, diyakini, dihayati, dan diamalkan serta diamankan oleh seganap lapisan masyarakat.
·         Adanya pimpinan nasional yang kuat dan berwibawa, mampu mengisi aspirasi dan cita-cita rakyat, serta mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari rakyat.
·         Adanya pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, mampu menyelenggarakan pemerintahan yang demoratis. Selain itu, mampu menyelenggarakan pembangunan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan mampu melindungi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia sehingga tercipta suasana dan perasaan aman, bebas dari bahaya dan ketakutan.
·         Adanya masyarakat yang mempunyai kesadaran politik, disiplin nasional, dan dinamika social yang tinggi sehingga tumbuh motivasi dan aktivitas konstruktif yang membangkitkan partisipasi aktif dalam pembangunan nasional


V.                KESIMPULAN
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian.
Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Sedangkan budaya politik
 1. Budaya politik merupakan perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, peneyelenggaraan administrasi negara.
2. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia ada 3 macam, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaulka, dan budaya politik partisipan.
3. Budaya politik partisipan perlu di sosialisasikan kepada segenap rakyat agar dapat berperan serta secara aktif.
4. Sebagai bangsa yang berdaulat, kemampuan menjaga dan melindungi seluruh wilayah Negara dari berbagai ancaman dan gangguan baik berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, tidak dapat dihindari lagi. Pertahanan dan keamanan Negara republic Indonesia silaksanakan dengan menyusun, mengerahkan, menggerakkan serta seluruh potensi nasional, termasuk kekuatan masyarakat diseluruh bidang kehidupan nasional secara terintegrasi dan terkoordinasi.







Referensi