CONTOH KASUS ETIKA dan BISNIS

SIFA FAUZIAH
16211755
4EA27
UNIVERSITAS GUNADARMA — KALIMALANG
TH.2014/2015
CONTOH
KASUS ETIKA dan BISNIS
1.
Contoh
Kasus:
Sindonews.com -
Tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pusat Pendidikan,
Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (PPPSON) di Bukit Hambalang Deddy
Kusnidar diketahui sempat melakukan korespondensi dengan PT Adhi Karya untuk
membahas pembangunan proyek Kementerian pemuda dan Olahraga itu. Korespondensi
itu juga diketahui dilakukan untuk menegaskan PT Adhi Karya tidak akan menuntut
Kementerian jika pengajuan dana multiyears untuk proyek itu tidak cair.
Berdasarkan dokumen yang diterima Sindonews Kamis
(26/7/2012), pada 19 Agustus 2010 lalu Deddy memberitahukan kepada PT Adhi
Karya selaku pemenang tender, jika dana yang telah ada untuk pembangunan proyek
itu baru Rp262,7 miliar. Sementara proses pengajuan pelaksanaan kontrak tahun
jamak (multiyears) dengan total nilai kegiatan direncanakan sebesar Rp 1,2
triliun sedang dilaksanakan. Dalam surat itu juga Deddy menegaskan jika
pengajuan tersebut tidak disetujui, maka anggaran akan kembali pada anggaran
semula, dan pihak penyedia barang dan jasa pemborong tidak akan menuntut ganti
rugi kepada pengguna barang dan jasa dalam bentuk apapun. Surat Deddy Kusdinar
kepada P Adhi Karya itu menjadi bukti adanya kongkalikong untuk mengarahkan
penganggaran multiyears, sekaligus kongkalikong pemenangan Adhi Karya sejak
awal dalam proyek.
Padahal, Kemenpora dan PT Adhi Karya baru menandatangani kontrak multiyears proyek Hambalang pada 10 Desember 2010. Sementara persetujuan kontrak tahun jamak disetujui Kementerian Keuangan melalui surat Nomor : S-553/MK.2/2010. Bukti dokumen itu sendiri diperkuat dengan pernyataan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anny Ratnawati yang mengatakan, Kemenpora memang telah melakukan pelanggaran aturan penganggaran, karena Kemenpora sudah melakukan kontrak kerjasama dengan pihak ketiga padahal belum ada persetujuan anggaran. "Kontrak multiyears itu satu kesatuan, sehingga seharusnya sebelum kontrak multiyears disetujui, maka sebetulnya tidak diperkenankan untuk melakukan kontrak untuk hal-hal yang menjadi kesatuan dalam persetujuan multiyears," terang Anny di kantor KPK beberapa waktu lalu. Anny menegaskan aturan itu jelas tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dimana seharusnya ada persetujuan Menteri Keuangan lebih dulu. Dengan adanya persetujuan itulah yang kemudian dapat menjadi syarat ditandatangani kontrak tahun jamak.
Padahal, Kemenpora dan PT Adhi Karya baru menandatangani kontrak multiyears proyek Hambalang pada 10 Desember 2010. Sementara persetujuan kontrak tahun jamak disetujui Kementerian Keuangan melalui surat Nomor : S-553/MK.2/2010. Bukti dokumen itu sendiri diperkuat dengan pernyataan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anny Ratnawati yang mengatakan, Kemenpora memang telah melakukan pelanggaran aturan penganggaran, karena Kemenpora sudah melakukan kontrak kerjasama dengan pihak ketiga padahal belum ada persetujuan anggaran. "Kontrak multiyears itu satu kesatuan, sehingga seharusnya sebelum kontrak multiyears disetujui, maka sebetulnya tidak diperkenankan untuk melakukan kontrak untuk hal-hal yang menjadi kesatuan dalam persetujuan multiyears," terang Anny di kantor KPK beberapa waktu lalu. Anny menegaskan aturan itu jelas tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dimana seharusnya ada persetujuan Menteri Keuangan lebih dulu. Dengan adanya persetujuan itulah yang kemudian dapat menjadi syarat ditandatangani kontrak tahun jamak.
ANALISIS :
Menurut saya, setidaknya ada beberapa poin penting dalam
penyelesaian kasus hambalang. Pertama, KPK harus berfokus
untuk mengusut korupsi hambalang tanpa terpengaruh dengan asumsi-asumsi
sejumlah pihak yang terafiliasi oleh pihak-pihak yang diduga terlibat dalam
kasus ini. Pendalaman juga perlu dilakukan untuk menjerat swasta yang
bersinergi dengan oknum kemenpora. Hal ini menjadi penting karena dalam beberapa
tahun terakhir, perananan swasta sangat penting guna memuluskan praktek
korupsi, namun belum banyak swasta yang mendapatkan hukuman setimpal.
Faktanya, dalam korupsi Wisma Atlet, yang melibatkan
sejumlah perusahaan 'bodong' bawah Grup Permai yang dikendalikan oleh
Nazaruddin, tidak ada sama sekali hukuman yang diberikan kepada
perusahaan-perusahaan tersebut. Lebih lanjut, belajar dari kasus Wisma Atlet,
selama ini penuntut umum tidak mendalami keterkaitan kasus korupsi dengan
tindak pidana khusus lain seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU). Padahal
kasus korupsi politik sangat mungkin berlekatan dengan TPPU, yakni digunakan
sebagai jalan 'memutar uang' yang akhirnya bertujuan untuk 'menghidupi' mesin
politik parpol. Kedua,untuk dapat mengurai hulu sampai hilir kasus
korupsi termasuk potensi TPPU, PPATK sebagai otoritas penelusuran transaksi
keuangan, diharapkan dapat bersungguhsungguh mendalami aliran dana proyek ini.
Kasus ini adalah 'bancakan' aktor kelas kakap sudah barang tentu harus dibuktikan
dengan aliran dana kepada pihakpihak tertentu. Pihak yang tentu saja
menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya.
Akhirnya, kasus
korupsi politik semacam ini terus-menerus berulang bahkan diprediksi akan
semakin massif dilakukan di tahun 2013. Oleh karena itulah, harapan besar
diletakkan ke penegak hukum yang sudah seharusnya sudah memiliki kemampuan
untuk mengusut berbagai korupsi politik. Sulit rasanya berharap pada upaya
bersih-bersih yang dilakukan oleh parpol, yang hanya sekedar isapan jempol tanpa
realisasi nyata. Belum lagi oknum kementerian-kementerian yang 'tidak bisa
dikendalikan' oleh Presiden.
2.
Kasus Hak Pekerja :
Masalah kasus Pengusaha dan Puluhan Pekerja panci di
Tanggerang yang terkena tindakan kekerasan dan belom mendapatkan Hak-hak nya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
menyesalkan lambannya penyelesaian kasus pekerja panci di Tangerang. Menurut
Kadiv Advokasi dan HAM KontraS, Yati Andriyani, sudah tiga bulan kasus yang
menimpa puluhan pekerja panci terkuak, namun sampai saat ini belum satu pun
berbuah hasil seperti harapan. Pasalnya, para pekerja yang semasa bekerja kerap
mendapat perlakuan tidak manusiawi dari pengusahanya itu sampai saat ini belum
dipenuhi hak-haknya. Mulai dari upah sampai hak-hak lainnya sebagai pekerja.
Yati mencatat ada 3 instansi pemerintah yang memproses kasus tersebut, yaitu
polres tigas raksa Tanggerang, dinas tenaga kerja kabupaten Tanggerang dan
kemenakertrans. Proses penyiidikan memmakan waktu sejak 2 mei 2013 dan
menyerahkan berkas kke jaksaan negeri tanggerang 25 juli 2013. Hasil penyidikan
hanya mencantumkansi pengusaha yaitu yuki dan mandor. Padahal dalam pemeriksaan
saksi menyebutkan keterlibatan aparat kepolisisan dan TNI. Adanya intimidasi
dan ancaman dengan cara tembakan ke tanah dimana para pekerja panci yang sedang
bekerja. Menurut Sekjen (OPSI), Timboel Siregar melihat kasus ini seakan hilang
ditiup angin. Padahal kasus ini terungkap banyak janji yang di umbar pihak
berwewenang untuk menyelesaikan masalah. Timboel mendeak pemerintah dan aparat
penegak hokum segera menuntaskan kasus tersebut baik menyangkut erdata dan
pidana, dan menegakkan hokum dibarengi dengan perbaikan pengawasan
ketenagakerjaan. Hingga sekarang Kemenakertrans belum memberikan pernyataan
resmi dan belum berbuah hasil.
3.
Kasus
iklan tidak etis:
Iklan Fren (Nelpon Pake Fren Bayarnya Pake Daun)
Persaingan sengit antara para penyedia
layanan kartu selurer tampaknya sudah memasuki suatu demensi baru. Perang
tarif dan perang ikon menjadi sesuatu yang lumrah, dan lagi-lagi masyarakat
yang menjadi tujuan peperangan tersebut. Fren, salah satu penyedia layanan
kartu seluler beberapa waktu lalu mengeluarkan sebuah iklan yang menampilkan
seorang wanita hanya mengenakan daun dan ditemani beberapa pria yang juga hanya
mengenakan daun.Setidaknya ada 2 hal di iklan itu
yang menjadi bahan perdebatan :
1.
Iklan ini menempatkan seorang wanita
muda hanya mengenakan daun, dan ada tiga pria yang juga hanya mengenakan daun
di belakangnya. Iklan ini tidak mendidik. Iklan ini jelas termasuk iklan yang
mengeksploitasi seksual. Apa salahnya bila wanita dan tiga pria itu mengenakan
pakaian yang pantas?
2.
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia) juga mempermasalahkan slogan dari Fren, “Nelpon Pake Fren Bayarnya
Pake Daun”. YLKI berpendapat daun bukan merupakan alat pembayaran yang sah.
4.
Kasus
Etika pasar bebas:
KASUS
ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan
tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Kasus Indomie
yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung
dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat
kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk
menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi
IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM
untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa
hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan
tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang
mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam
produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik
menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga
membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman
untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex
Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.