Senin, 27 Mei 2013

SOFTSKILL BAB 1 HUKUM



TUGAS PERILAKU KEWARGANEGARAAN BAB I

HUKUM


 

UG


 

 

 

 

 

Nama                   : SIFA FAUZIAH

Kelas                   : 2EA27

NPM                      : 16211755

 

UNIVERSITAS GUNADARMA

2013

 

 

 

 

DAFTAR ISI
I.                    PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………                   1                             
II.                  PERMASALAHAN ………………………………………………………………………….                      2
III.                PEMBAHASAN………………………………………………………………………………                      2
3.1   Gambaran Hukum Indonesia ……………………………………………………………..                      4
3.2   Hukum Indonesia ……………………………………………………………………………….                      6
3.3   Pengantar Hukum Indonsia ……………………………………………………………….                       7
3.4   Ruang Lingkup PHI …………………………………………………………………………….                        8
3.5   Pengertian Hukum Pidana …………………………………………………………………                       9
IV.                KESIMPULAN ………………………………………………………………………………                        14
REFERENSI ……………………………………………………………………………………………                             15

 

BAB I.
HUKUM
PENDAHULUAN


            Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
           
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.

Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.

Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.

II  PERMASALAHAN

Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?

III . PEMBAHASAN

            Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.

Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.

Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.

Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.

Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.




Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :

1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.

Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

3.1  GAMBARAN KEADILAN DIINDONESIA

Hukum di negeri ini bak seperti serdadu dalam perang yang mana kekuasaan menjadi otoritas yang berperan dalam mengaturnya. mengenai nuansa hukum yang sangat bobrok merupakan gambaran bahwa keadilan tidak ditegakkan oleh pemerintah. hukum adalah sebuah langkah yang kongkrit dalam menindak pelanggar hukum positif yang telah ditetapkan. penulis teringat dengan pernyataan

Pak Ruhut Anggota DPR RI Politisi Partai Demokrat  dalam acara Talk Show Indonesia The Iawyers Club yang mengatakan ” jadikan Hukum itu sebagai Panglima”. realitas hari ini banyak kasus-kasus Hukum yang tidak memihak masyarakat kecil entah dimana sudah keadilan yang menyatakan semua Individu sama dimata hukum.
Sungguh sangat ironi hukum seperti tidak berdaya dibuatnya karena tekanan dari kepentingan politik yang memiliki kecukupan material. Negara kita adalah negara hukum tapi fakta non persidangan menjadi landasan materiil dalam mengungkap kasus-kasus besar seperti Wisma Atlet maupun proyek Hambalang. gambaran tentang informasi hukum seperti ini membuat rakyat Indonesia tertawa menyaksikan ketegangan yang terjadi ditataran elite. memang hukum bukan sebuah landasan yang mampu membuat semua kalangan tunduk dan patuh. Namun, hukum dibayang-bayangi oleh kepentingan elite-elite sebagai aktor politik.
hukum menjadi sebuah konsep yang belum begitu jelas di republik ini karena masih menganut tatanan dari belanda jadi belum sepenuhnya adanya reformasi hukum. hal ini yang menyebabkan pelaksanaannya semakin tersendat dan tidak seimbang padahal hukum harus efisien dan akuntabel dalam menelusuri kasus-kasus yang muncul dimasa sekarang. yang paling memprihantikan ketika banyak dari kita menganggap bahwa hukum itu bisa diperjual-belikan dan sangat riskan sekali. Memang hukum harus jadi panglima namun kenyataannya malah sebaliknya karena terjadi ketidakseimbangan antara Perundang- undangan yang berlaku dengan penegak hukum dalam pelaksanaannya.

Fenomnena yang berkembang bahwa Hukum seperti dikendalikan oleh kepentingan politik yang sarat dengan konsepsi kekuasaan. Berbagai kasus besar mulai tenggelam dengan isu-isu tentang kenaikan BBM yang sebentarlagi akan dinaikan selanjutnya proses hukum terhadap para politisi partai Demokrat yang tersandung masalah korupsi. Permaasalahannya Negara kita adalah negara hukum karena aspek ini diatas segala-galanya dan menjunjung tinggi segala fakta dan bukti bukan mencari pembuktian atau pembenaran pada acara Talk Show atau diskusi public dibebrapa stasiun televise. Masyarakat pesimis jika hukum dapat ditegakan seadil-adilnya bila kondisi aspek ini berjalan tidak sesuai rel yuridiksi itu sendiri
Harapan bagi aspek hukum jadikan semua dimatanya jangan biarkan mata keadilan itu buta karena sebuah kepentingan politik yang Oligarki. Berikan sosialisasi yang sebenarnya mengenai aspek ini kepada publik karena jika masyarakat paham maka akan bisa membangun hukum yang sesungguhnya bukan hukum tebang pilih. Terakhir harapan dari subtansi tulisan ini yaitu jadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi di segala lini dan hormati keadilan jangan mencari pembenaran jika memang terbukti bersalah semoga.

           Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah menjalankan berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan lembaga penegakan hukum yang mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih. Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial melalui yang disebut dengan ”peradilan satu atap”, pengenalan hak menguji undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi, dan terbentuknya berbagai peradilan khusus dan komisi pengawas terhadap lembaga yudisial, kejaksaan, dan kepolisian, merupakan perubahan dalam skala yang besar.

            Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.

            Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.

3.2  HUKUM DIINDONESIA
Bagaimana hukum di Indonesia? Kebanyakan orang akan menjawab hukum di Indonesia itu yang menang yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya.

Itulah seklumit jawaban yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum di Indonesia.

Dalam pembahasannya menilai bahwa perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka sampai pemerintahan Gus Dur pasti terdapat kekurangan- kekurangan dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.

Pembahasan hukum dalam makalah tersebut lebih banyak mengkritisi pemerintahan ORBA yang gagal dalam menjalankan hukum. Karena tidak berjalannya prinsip rule of law yang menuntut peraturan hukum dijalankan secara adil dan melindungi hak- hak sosial dan politik dari pelanggaran yang dilakukan baik warga maupun penguasa.

Masalah pelaksanaan hukum di Indonesia dibahas dengan menunjukan fakta- fakta pelanggaran aturan hukum yang terjadi di era ORBA.Dalam pembahasan tersebut menunjukan law enforcement tidak berjalan dan lambatnya proses penanganan pelanggaran hukum oleh penguasa. Bahkan sampai era reformasi pemerintahan SBY belum juga dilaksanakan secara adil. Hal terjadi karena rezin ORBA masih ada dan karena adanya money politic.

Dengan adanya fakta- fakta tersebut kita sebagai masyarakat yang peduli keadilan diajak untuk lebih mengkritisi kasus- kasus pelanggaran kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan aturan hukum yang menanganinya. Masalah pencabutan perundang- undangan yang tak demokratik dibahas mengenai Pengamandemenan UUD 45 pasal 6 ayat (1) yang memang perlu dilakukan. Karena pasal tersebut tidak mencerminkan penegakan hukum secara demokratik Dan itu terbukti menjadi solusi karena dalam UUD 45 pasal 6 ayat (1) Amandemen keempat telah berubah bunyinya menjadi “ Capres dan cawapres harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain karena kehendaknya sendiri….” Masalah impunity dalam kaitannya dengan amandemen kedua UUD 45 Pasal 28I ayat (1) memang belum jelas apakah pasal tersebut berlaku sama terhadap tindak kejahatan- kejahatan kemanusiaan
.
Jika dilihat dari limu hukum uraian di atas cukup mendukung bahwa satu- satunya jalan adalah dengan mengamandemen pasal tersebut. Akan tetapi sampai UUD 45 amandemen keempat atau UUD 45 yang berlaku sekarang ini belum diubah. Dari penjelasan- penjelasan masalah di atas intinya adalah untuk mereformasi hukum di Indonesia dengan penegakan supremasi hukum sehingga terwujud hukum yang adil. Era reformasi sudah cukup lama berjalan namum sampai sekarang penegakan hukum memang sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi karena masih banyak kendala- kendala yang harus di hadapi. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dan pemerintah dalam penegakan hukum. Semoga perkembangan hukum di Indonesia semakin maju dan dapat berjalan dengan adil.

3.3  PENGANTAR HUKUM INDONESIA
Pengertian Tata Hukum, yaitu menyusun dengan baik dan Tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.

Sistem Hukum
Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lain, tersusun dengan suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.
Hukum Sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.


3.4  RUANG LINGKUP PHI (Tata Hukum Indonesia)
Tata Hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat Hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Lahirnya Tata Hukum di Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dibentuklah tata hukumnya itu dinyatakan dalam :
1.Proklamasi Kemerdekaan : “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”,
2.Pembukaan UUD-1945: “ Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Undang-undang dasar Negara Indonesia…”

Pernyataan itu mengandung arti :
1.Menjadikan Indonesia sauatu Negara yang merdeka dan berdaulat
2.Pada saat itu menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian tertulis. D

Didalam Undang-undang dasar Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis). Undang-undang hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar merupakan rangka dari tata hukum Indonesia

Tata Hukum di Indonesia meliputi :

1. Sistem Hukum
Macam-macam Sistem Hukum
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental.
b. Sistem Hukum Anglo Saxon
c. Sistem Hukum Adat

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

2.Sejarah Hukum Indonesia.
Ada beberapa periode sejarahberkembangnya Hukum diindonesia, Yakni:
1.Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal

Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1.Periode VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

2.Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

3.Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; Unifikasi kejaksaan; Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; Pembentukan lembaga pendidikan hukum; Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

3.5  PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi

Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.


B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.

D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia
. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.





































VI. PENUTUP/KESIMPULAN


            Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.
































REFERENSI

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.
Google, wikipedia
 

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar